5 Januari 2015. Hari yang paling dinanti oleh para guru
sekolah dasar di Depok dan sekitarnya. Pagi itu matahari turut menerangi
sumringahnya para guru dan murid di salah satu sekolah. Mungkin bukan saja di
sekolah tersebut tetapi di semua sekolah yang ada. Hari yang palling dinanti anak-anak
untuk kembali bertemu dengan kawan sekolahnya.
Anak-anak dan guru-guru sudah tidak memikirkan lagi aturan tentang
kurikulum yang matang secara karbitan. Bukan, bukan guru tidak setuju dengan
kurikulum tiga belas peninggalan menteri sebelumnya, tetapi karena ketidak
siapan kurikulum ini menjadikan guru, sekolah dan juga murid-murid menjadi
tumbal dalam prosesnya.
Kurikulum 13 yang mengacu kepada disentralisasi pendidikan
dengan tematik sebagai ciri khas pada pembelajarannya sepertinya belum mampu
menjawab pertanyaan tentang hasil evaluasi pembelajaran. Kita memang sudah lama
dengan pembelajaran persubject, evaluasi quantitatif tanpa melirik sedikiit
kepada evaluasi afektif. Afektif hanya terekam dalam pelajaran kewarganegaraan
saja. Tapi tanpa diukur sampai mana tingkat keberhasilannya. Bahkan pembelajaran
bernilai katakterpun sedikit demi sedikit lenyap berganti dengan pembelajaran
yang hanya mengedepankan kognitif.
K13
membawa angin segar?
Hembusan angin
segar digadang-gadang akan datang seiring kurikulum 13 di sahkan. Kurikulum yang
mengedepankan nilai karakter ini memiliki ciri khas tematik integratif sebagai
pusaranya pada pembelajaran sekolah dasar. Pengembangan tema pada porosnya
dengan menggunakan tiga pilarpendekatan yaitu inquary, scientific dan project.
Pengembangan tema secara sinergi dan integratif dinilai
mumpuni menjawab pertanyaan tentang kompetensi dan katakter yang kelak akan
dimiliki peserta didik. Dalam hal penilaian, K13 juga memiliki ciri khas evaluasi
dibidang qualitatif deskriptif. Guru harus menjabarkan kompetensi siswa sesuai
tema yang dikembangkan dalam pembelajatan setiap hari. Secara satu persatu, dan
satu pembelajaran dalam buku tersebut diusahakan untuk habis satu hari, agar
target ketuntasannya tercapai.
Sebagian guru memang mempercayai dengan hadirnya K13 ini
dapat membawa angin segar untuk pendidikan kita, khususnya sekolah dasar. Karena
Sekolah Dasar adalah gerbang emas pembentukan karakter seseorang. Namun, jika
melihat realita yang ada di Indonesia, hal ini sangatlah tidak mungkin
dilakukan oleh guru-guru khususnya di tataran sekolah negeri. Contoh di Sekolah
Dasar dibilangan Cimanggis, satu kelas dan satu wali kelas yang mengajar
pembelajaran tematik dengan jumlah siswa yang membludak. Ia harus menilai
kognitif, afektif dan psikomotorik siswanya setiap hari karena pembelajaran
harus habis setiap harinya agar ketuntasan target tema tercapai. Ditambah, penilaiannya
yang persiswa dengan cara deskriptif dan memakan waktu cukup membuatnya
kepayahan. Belum lagi administrasi kelas yang juga harus ia kerjakan. Walhasil
copy paste menjadi pekerjaan yang dinilai dapat membantu penilaian yang banyak
tersebut.
K13
dan evaluasi yang tidak nyambung!
Kegundahan tidak hanya disitu, ternyata k13 juga
menyalahi aturan prinsip pengembangan kurikulum yang ada. Demikian adalah
dosa-dosa k13 yang menyalahi aturan prinsip kurikulum :
·
Menyalahi prinsip efektif dan efisien.
·
Melanggar prinsip kontinuitas
·
Melanggar prinsip relevansi
·
Melanggar prinsip praktis pada
pengembangan kurikulum
Ditambah
lagi, proyek UN yang belum bisa dienyahkan dari muka bumi Indonesia. Semestinya,
jika kita mau meneruskan k13 dan ingin menjalankannya, proyek UN haruslah
ditiadakan bagi siswa SD. Ditambah lagi, UN yang menjadi ujung tombak evaluasi
terkesan tidak seiring sejalan dengan k13. Kurikulum yang karbitan dipaksakan
untuk dilaksanakan. Ironi sekali jika semua ini ternyata hanya sebuah proyek
untuk membesarkan sepihak dengan menjadikan sekolah sebagai tumbalnya.
CLBK
(Curikulum Lama Balik Kembali)
Carut marutnya
k13 akhirnya diselesaikan dengan keputusan menteri terpilih Anis Baswedan yang
memutuskan kembali kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Beberapa guru
menyambut riuh keputusan ini, namun ada pula yang menyayangkannya karena
sekolah terlanjut mengeluarkan dana pelatihan k13 yang tidak sedikit. Namun,
anis meminta untuk sekolah yang sudah satu tahun menjalankan k13 untuk
meneruskan agar menjadi sekolah percontohan k13. Keputusan anis sangatlah bijak
karena memberikan alternatif kepada sekolah yang sudah bertahan satu tahun
dengan k13. Namun anehnya, beberapa pihak seakan menentang keputusan Anis
dengan tidak mengindahkannya. Bahkan, demi gengsi ada pihak yang sengaja
mengumpulkan tanda tangan guru-gurunya bahkan memaksa guru-gurunya untuk
melanjutkan k13 tanpa dasat alasan yang jelas dan relevan.
Kegalauan yang tak kunjung bertepi ini memaksa sebagian
sekolah di Depok yang tadinya akan beralih mengikuti keputusan menteri terpilih
menjadi kembali pada k13. Bahkan wali
murid pun ikut bersuara karena kebimbangan kurikulum yang diterapkan pemerintah
dengan keputusannya seakan ditantang oleh sebagian pemerintah daerah yang
menangani bidang pendidikan. Entah gengsi apa yang ada dibenak pemimpin kita
tentang kegaluan kurikulum yang tak bertepi. Walaupun begitu, jalan pintas yang
ada hanyalah sedikit tidak berfikir tentang kurikulum yang galau tetapi mengupgrade kinerja pendidik yang
siap melayani dan memberikan contoh kepada para siswanya dengan senyuman
mengembang setiap hari.
